Ulos Batak
Secara harafiah, ulos berarti selimut, pemberi kehangatan badaniah dari terpaan udara dingin. Menurut pemikiran leluhur Batak, ada 3 (tiga) sumber kehangatan : (1) matahari, (2) api, dan (3) ulos.
Dari ketiga sumber kehangatan tersebut, ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari. Matahari sebagai sumber utama kehangatan tidak kita peroleh malam hari, dan api dapat menjadi bencana jika lalai menggunakannya.
Dalam pengertian adat Batak “mangulosi” (memberikan ulos) melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Biasanya pemberi ulos adalah orangtua kepada anak-anaknya, hula-hula kepada boru.
Ulos terdiri dari berbagai jenis dan motif yang masing-masing memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dalam upacara adat yang bagaimana.
Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang “non Batak” bisa diartikan penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Misalnya pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat diiringi ucapan semoga dalam menjalankan tugas-tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.
Ulos juga digunakan sebagai busana, misalnya untuk busana pengantin yang menggambarkan kekerabatan Dalihan Natolu, terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (sarung).
HORAS!
Horas merupakan salam khas orang Batak yang berarti selamat, salam sejahtera, yang kerap diucapkan dalam kehidupan sehari-hari bila 2 orang atau lebih bertemu.
Padanan kata „Horas“ adalah „Mejuah-juah“ (Batak Karo), „Njuah-juah“ (Batak Pakpak), „Yaahowu“ dari daerah Nias. Sedangkan „Ahoiii!“ adalah salam khas daerah pesisir Melayu di Sumatera Utara.
Horas bisa juga berarti selamat jalan/datang, selamat pagi/siang/malam dan lain lain yang maknanya baik. Karena populernya kata horas, orang-orang non Batak juga sering mengucapkan kata tersebut jika bertemu dengan orang Batak. Yang pasti, horas adalah do’a dan harapan bagi si pengucap dan pendengar kata itu.
Dalihan Na Tolu
Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba) atau TOLU SAHUNDULAN (bahasa Simalungun).
Dalihan dapat diterjemahkan sebagai “tungku” dan “sahundulan” sebagai “posisi duduk”. Keduanya mengandung arti yang sama, 3 POSISI PENTING dalam kekerabatan orang Batak, yaitu:
1. HULA HULA atau TONDONG, yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di atas”, yaitu keluarga marga pihak istri sehingga disebut SOMBA SOMBA MARHULA HULA yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.
2. DONGAN TUBU atau SANINA, yaitu kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu: teman/saudara semarga sehingga disebut MANAT MARDONGAN TUBU, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.
3. BORU, yaitu kelompok orang orang yang posisinya “di bawah”, yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari disebut ELEK MARBORU artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat.
Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi BORU.
Dengan dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang.
Ditulis dalam Riwayat Suku Batak | Tag: dalihan
Marga dan Tarombo
MARGA (clan) atau juga disebut family name adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah yang dalam istilah sosiologi disebut garis keturunan patrilineal. Sistem kekerabatan patrilineal menentukan garis keturunan selalu dihubungkan dengan anak laki laki.
Seorang ayah akan merasa hidupnya menjadi lengkap dan sempurna manakala ia telah memiliki anak laki-laki yang akan meneruskan generasi marganya. Sesama satu marga dilarang saling mengawini, dan sesama marga disebut dalam Dalihan Na Tolu disebut Dongan Tubu.
Menurut buku “Leluhur Marga-Marga Batak”, jumlah seluruh Marga Batak sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.
TAROMBO adalah riwayat (tarikh) atau sering disebut dengan istilah silsilah tentangt asal-usul menurut garis keturunan ayah. Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam marga, bukan itu saja, bahkan dengan tarombo, seseorang dapat mengkaji jarak umur antara dirinya dengan leluhurnya sendiri.
Setiap kali orang Batak berkenalan di mana saja, biasanya mereka saling tanya Marga dan Tarombo. Hal tersebut dilakukan untuk saling mengetahui apakah mereka saling “mardongan sabutuha” (semarga) dengan panggilan “ampara” atau “marhula-hula” dengan panggilan “lae/tulang”.
Dengan tarombo, seseorang mengetahui apakah ia harus memanggil “Namboru” (adik perempuan ayah/bibi), “Amangboru/Makela”,(suami dari adik ayah/Om), “Bapatua/Amanganggi/Amanguda” (abang/adik ayah), “Ito/boto” (kakak/adik), PARIBAN atau BORU TULANG (putri dari saudara laki laki ibu) yang dapat kita jadikan istri, dan seterusnya.
Ditulis dalam Riwayat Suku Batak | Tag: clan
Rabu, 18 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar